Kali ini, saya akan memposting 1 makalah tentang Desa Pangelipuran yang bertempat di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Makalah ini ditulis saat saya kelas 3 SMA. Tetapi baru saya upload sekarang. heheh :D
Ketika itu saya dan rombongan SMA sedang berkunjung ke Desa Pengelipuran dan kami ditugaskan untuk menulis makalah sebagai tugas sekolah. Saya sangat senang bisa berkunjung kedesa tersebut. Saya membeli kamen dan loloh cem-cem sebagai oleh-oleh. Saat itu adalah pengalaman pertama saya mengunjungi Desa Pengelipuran. Satu-satunya tempat yang belum pernah saya kunjungi ketika kesana adalah hutan Bambu.
Berikut ini adalah makalah yang pernah saya tulis (:
BAB. 1
1.1 Latar belakang
Kami memilih tema “Kehidupan
Sosial-Budaya Desa Adat Penglipuran” karena kehidupan sosial-budaya di desa
tersebut sangat menarik untuk dipelajari. Kehidupan sosial-budaya yang tradisional, jarang ditemui di tengah-tengah
masa globalisasi seperti sekarang ini, dan tentu saja kami sangat ingin
mengetahui lebih jelas mengenai kehidupan social budaya Desa Panglipuran yang
dijuluki sebagai Desa Adat, Desa Budaya, dan Desa Wisata.
1.2 Tujuan
Tujuan kami mempelajari kehidupan
sosial-budaya desa adat Penglipuran adalah:
a. Mengetahui kehidupan sosial
masyarakat setempat.
b.Mengetahui kegiatan sehari-hari
masyarakat setempat.
c. Mengetahui cara masyarakat
bersosialisasi.
l.Mengetahui kegiatan dan cara
muda-mudi dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari maupun dalam menyambut hari-hari besar
keagamaan.
e. Mengetahui kehidupan budaya
masyarakat setempat.
f.Mengetahui alasan mayarakat
setempat masih menjaga tradisi.
g.Mengetahui seberapa sering
wisatawan datang ke desa tersebut.
1.3 Rumusan masalah
a) Apakah bisa dikatakan bahwa Desa
Penglipuran sebagai “Desa Budaya” yang sedikit banyak belum terpengaruh
modernisasi?
b) Bagaimana cara penduduk di sini
untuk mempromosikan Desa Penglipuran sebagai objek wisata ke daerah luar?
c) Apakah nama tempat untuk
pertemuan warga di desa ini? Apa saja kegiatan yang dilakukan di tempat
tersebut?
d) Apakah di sini terdapat kelompok
muda-mudi dan apa saja kegiatannya?
e) Apakah cirri khas budaya yang paling
ditonjolkan dari Desa Penglipuran ini?
f) Mengapa sampai sekarang ciri khas
tersebut masih dijaga atau bahkan sangat ditonjolkan? Apakah ada kaitannya
dengan objek wisata disini?
g) Apakah desa ini memiliki kesenian
khusus?
h) Adakah kerajinan tangan khusus
yang diproduksi penduduk di sini sekaligus menjadi produk andalan pariwisata?
i) Seberapa sering kiranya wisatawan
yang datang kemari dan rata-rata dari mana saja asal wisatawan tersebut?
j) Mengapa rumah-rumah penduduk
terbuat dari bambu dan disusun berderet dan apakah hal ini sudah menjadi
tradisi nenek moyang?
k) Apakah prinsip yang selalu
dipegang teguh penduduk di sini sehingga mereka mampu menjaga tradisi hingga
sekarang dan adakah keyakinan tertentu?
l) Apakah peran serta warga dalam
mempertahankan adat istiadat di sini?
m) Apakah ada program-program khusus
yang sedang dilaksanakan pemerintah maupun tokoh-tokoh adat di sini dalam rangka
menjaga tradisi Desa Penglipuran?
BAB . 2
Kehidupan
Sosial-Budaya Desa Adat Penglipuran
A.
Sejarah
Desa Penglipuran
Desa
Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan
spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga mampu menampilkan pemandangan
pedesaan yang asri. Penataan struktur desa tersebut tidak terlepas dari
budaya masyarakat yang sudah berlaku turun temurun. Sehingga dengan demikian
Desa Adat Penglipuran merupakan obyek wisata budaya. Keasrian Desa Adat
Penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan desa. Hijau
rerumputan pada pinggiran jalan dan pagar tanaman menepi sepanjang jalan,
menambah kesejukan pada desa.
Pada
areal catus pata setelah prosesi tersebut, merupakan areal tapal batas
memasuki Desa Adat Penglipuran. Balai wantilan dan fasilitas kemasyarakatan
serta ruang terbuka pertamanan, merupakan daerah selamat datang (Welcome
Area). Areal berikutnya adalah areal tatanan pola desa, yang diawali dengan
gradasi ke fisik desa secara linier ke arah kanan dan kiri.
Desa
panglipuran termasuk wilayah kelurahan Kubu. Asal mula desa panglipuran berawal
dari nama desa bayuh gede,
di daerah Kintamani, kurang lebih 35 km dari Desa Panglipuran. Sebelum bernama
desa panglipuran nama desa tersebut adalah kubu bayuh. Kubu merupakan wilayah dari
desa panglipuran, kemudian bayuh adalah asal warga
aslinya. Jadi orang bayuh yang tinggal
di kubu atau orang kubu yang berasal dari bayuh. Nama dari panglipuran tersebut berasal dari
kata “pangeling pura”. Jadi eling artinya ingat atau mengingat, pura artinya
rumah tuhan, kalau dibali bisa disebut pura/puri. Jadi artinya ingat kepada
tempat asalnya yang ada di bayuh gede. Desa panglipuran tersebut di bangun
dengan konsep-konsep yang dibawa dari daerah-daerah leluhurnya. Suatu contoh
dalam bentuk tatanan: pura-pura yang di bangun didesa panglipuran hari
piodalannya sama dengan yang ada dibayuh gede. Bahkan ada yang memberikan
batasan bahwa nama desa panglipuran berasal dari kata panglipur yang artinya
penghibur. Konon dahulu tempat tersebut sering dipakai tempat rekreasi oleh Raja
Bali dan ada juga orang yang mendefinisikan dengan kata panglipur lara. Luas
wilayah hanya 112 hektar, tata guna lahan 45 hektar hutan bamboo, 50 hektar
tegalan atau tanah ladang, 9 hektar pemukiman. Sedangkan radius 500 meter utara
selatan, ada di jejer barat dan jejer timur, ada 76 kaplingan pakarangan.
Dari no urut 1 sampai keselatan ada 76 yang statusnya adalah hak guna pakai
dan bukan hak milik priadi. Luasnya hanya 9 hektar. Di jalan utama tidak
boleh dilewati mobil/sepeda motor. Jika ingin membawa mobil/sepeda motor
harus memutar sepajang 2 km, di jalan yang sudah sediakan. Pengunjung ataupun
warga panglipuran tidak boleh membawa sepeda motor/mobil di jalan utama dan 4
hektar sebagai fasilitas umum “pura, sekolah, bale banjar, dsb”. Curah hujan
cukup tinggi dari 2000-2500 cm dengan suhu antara 20-24. Termasuk daerah
sejuk atu daerah dingin karena dekat dengan pegunungan.
B. Keunggulan
dan Daya Tarik desa Penglipuran
Desa
Penglipuran merupakan salah satu daerah di Bali memiliki banyak julukan,
diantaranya: Desa Adat, Desa Budaya, dan Desa Wisata. Hal tersebut ditinjau
dari berbagai aspek seperti: sistem adat, tata ruang, pernikahan, bentuk
bangunan dan topografi, upacara kematian, stratifikasi social, kesenian, mata
pencaharian, organisasi, dan obyek wisata .
1.
Sistem
Adat
Di
desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut sistem
pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang
otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri
dan setara. Otonom yang dimaksud adalah desa adat mempunyai aturan-aturan
tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan aturan
tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang
pemerintah.Undang-undang atau aturan yang ada di Desa Penglipuran, yang disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana.Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut :
a.
Prahyangan, adalah hubungan manusia dan Tuhan. Meliputi penentuan hari suci,
tempat suci dan lain-lain.
b.
Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan masyarakat penglipuran
dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan orang yang beda agama.
Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem pernikahan, organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
c.
Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan untuk
mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran kalau desa
penglipuran terlihat begitu asri.
Filsafat hubungan yang selaras
antara alam dan manusia dan kearifan manusia mendayagunakan alam sehingga
terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan daerah lain di
Bali. Oleh karena itu, visualisasi estetika pada kawasan ini bukan merupakan hal
langka yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.
2.
Tata Ruang
Tata ruang desa penglipuran dikenal
dengan Tri Mandala yang terdiri dari tiga bagian yaitu :
a.
Utama
Mandala
Orang Penglipuran biasa
menyebutnya sebagai Utama Mandala , yang biasa diartikan sebagai tempat suci.
Ditempat ini masyarakat Penglipuran melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang
Hyang Widhi.
b. Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman
penduduk yang berbanjar sepanjang jalan utama desa. Barisan itu berjejer menghadap
kearah barat dan timur. Saat ini jumlah rumah yang ada disana ada kira-kira sebanyak
70 buah. Tata ruang pemukimannya sendiri adalah sebelah utara atau timur
adalah pura keluarga yang telah diaben. Sedangkan Madya Mandala adalah rumah
keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang yang telah diatur oleh
adat.Tata ruang tersebut terdapat di sebelah utara dijadikan sebagai tempat
tidur, yang tengah digunakan sebagi tempat keluarga sedangkan sebelah timur
dijadikan sebagai tempat pembuangan atau MCK. Sedangkan dibagian nista dari
pekarangan biasanya tempat jemuran, garasi dan tempat penyimpanan kayu.
c.
Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat
yang paling buruk, disana terdapat kuburan dari masyarakat penglipuran.
Konsep tri mandala tidak hanya
berlaku bagi tata ruang desa tetapi juga bagi tata ruang rumah hunian. Setiap
kapling rumah warga Penglipuran terbagi menjadi tiga bagian. Di halaman
depan, terdapat bangunan angkul-angkul dan ruang kosong yang disebut natah;
bagian tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga dan di bagian paling
belakang terdapat toilet, tempat jemuran, atau kandang ternak.
3.
Perkawinan
Di desa ini ada adat yang berlaku
soal perkawinan atau pernikahan yaitu pelarangan poligami terhadap para
penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga para wanita. Meskipun
ada yang boleh melakukan poligami namun akan mendapat sanksi. Biasanya, jika
ada yang melanggar, maka pelangsungan upacara perkawinannya tidak akan pernah
diselesaikan didesa tersebut. Sanksi biasanya si poligami akan ditempatkan
pada tempat yang bernama nista mandala dan dilarang melakukan perjalanan dari
selatan ke utara karena wilayah utara bagi orang penglipuran adalah wilayah
yang paling suci. Orang yang melakukan poligami tesebut boleh saja
sembahyang, tetapi jika memasuki kawasan suci milik desa tidak akan diizinkan
karena upacara perkawinannya tidak pernah diselesaikan di desa tersebut,
sampai keturunannya ( anak, cucu, kumpi ).
Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga
disebelah kanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya karena
tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi
warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai perempuan
yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran. Yang
menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa Penglipuran dan laki-lakinya
dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang
dialaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
4. Bentuk Bangunan dan
Topografi
Topografi desa tersusun sedimikian
rupa dimana pada daerah utama desa, kedudukannya lebih tinggi demikian
seterusnya menurun sampai daerah hilir. Pada daerah desa terdapat Pura
penataran dan Pura Puseh yang merupakan daerah utama desa yang unik dan
spesifik karena disepanjang jalan koridor desa hanya digunakan untuk pejalan
kaki, yang kanan dan kirinya dilengkapi dengan atribut-atribut struktur desa;
seperti tembok penyengker, angkul-angkul dan telajakan yang seragam. Keseragaman
dari struktur desa tersebut. Selain ada keseragaman bentuk, juga ada dari
keseragaman bahan yaitu bahan tanah untuk tembok penyengker dan angkul-angkul
(pol-polan) serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa.
Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding maupun lain-lain kebutuhan merupakan
suatu keharusan untuk digunakan karena desa Penglipuran dikelilingi oleh
hutan bambu dan masih merupakan teritorial desa Penglipuran.
5.
Upacara Kematian (Ngaben)
Seperti daerah lain yang ada di
Bali, masyarakat Pengelipuran mengadakan upacara yang biasa disebut ngaben.
Dimana ngaben ini adalah suatu upacara kematian dalam rangka mengembalikan
arwah orang yang meninggal. Awalnya menurut kepercayaan orang Bali arwah
tersebut masih tersesat kemudian dikembalikan ke pura kediaman si arwah. Yang
membedakan daerah ini hanyalah pada ritualnya saja. Dimana apabila orang bali
lain ngaben dilakukan dengan cara membakar mayat, di Penglipuran mayat di
kubur. Dalam prosesi ngabennya itu memakai sapi sebagai sesajen. 1 mayat yang
di upacarai menyembelih satu ekor sapi. Makna sapi disana sama dengan orang
ngaben pembakaran mayat.
Dalam prosesi penguburan disana,
ada 3 kelompok penguburan:
1. Yang sudah tua atau menikah: dengan
kondisi wajah tidak membawa sakit gede atau seperti sakit2 yang membahayakan.
2. Ulah pati dan salah pati: orang
yang meninggal yang sudah menikah diluar.
3. Kuburan rang yang meninggal
muda dan meninggal tidak membawa penyakit, meninggal ulah pati & salah
pati, wala pun sudah umur 70 th, tapi dia masih “dea” atau truna/bajang.
Kuburan yang paling timur adalah kuburan baik tua mau pun muda dengan kondisi
sakit gede atau ulah pati. Yang paling barat alah orang yang kedudukannya
seperti jero kebayang. Orang panglipuran mengubur kepalanya membujur ke barat
karena dibarat ada pelinggih dalem raja pati. Sehingga pendahulu atau petua
yang meninggal wajar ada paling dekat dengn itu. Orang muda yang meninggal
membawa penyakit, tempatnya paling timur. Dalam posisi penguburan disini ada
namanya mayat laki-laki dan mayat perempuan tidak sama posisinya. Kalau di
panglipuran posisi mayat laki-laki melingeb/tengkurep, mukanya mengarah
ketanah. Kemudian kalau mayatnya perempuan, diposisikan dengan posisi
nengkayak/tengadah. Diartikan bahwa laki-laki itu gambar angkasa, dan
wanitanya adalah bumi. Menurut analisa hal tersebut dilakukan oleh masyarakat
Penglipuran sebagai tanda hormat dan juga sebagai cara untuk mengurangi
kemungkinan-kemungkinan buruk mengingat daerah Penglipuran yang berada
didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti yang kita tahu bahwa abu
jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut sedangkan bagi
orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi terbaik
adalah dimakamkan.
6.
Stratifikasi Sosial
Di Penglipuran hanya ada satu
tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra, jadi di Penglipuran kedudukan antar
warganya setara. Hanya saja ada seseorang yang diangkat untuk memimpin mereka
yaitu ketua adat.
7.
Kesenian
Di Desa Penglipuran terdapat
tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris sebagai salah satu bentuk seni
tradisional yang berakar kuat pada kehidupan masyarakatnya dan hidup secara
mentradisi atau turun temurun, dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa
Adat Penglipuran adalah merupakan tarian yang langka, dan berfungsi sebagai
tari penyelenggara upacara dewa yadnya. Adapun iringan gambelan yang
mengiringi pada saat pementasan semua jenis Tari Baris Sakral tersebut adalah
seperangkat gambelan Gong Gede yang di dukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat
Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi juga keanggotaan sekaa Baris sakral
ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran. Kemudian nama-nama
penari ketiga jenis Baris sakral ini juga telah ditetapkan, yakni Baris Jojor
12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris Bedil 20 orang.
A.
Hutan Bambu
Desa Pengelipuran selain memiliki
daya pesona budaya, juga memilki keunikan di setiap rumah warga, selain itu
juga memiliki daya tarik wisata yakni hamparan hutan bambu yang luasnya
mencapai lebih dari 75 hektar. Hutan ini selain dimiliki warga desa adat juga
menjadi salah satu objek wisata yang sering kali dikunjungi wisatawan mancanegara atau
pun domestic yang ingin menyaksikan berbagai jenis bambu, maupun mereka yang
hanya ingin sekedar menikmati suasana di tengah hutan bambu.
Hutan Bambu yang ada di Desa
Penglipuran mempunyai luas areal sekitar 45 hektar dengan berbagai jenis bambu
yakni terdiri dari Bambu Petung, Bambu Jajang Aya, Bambu Jajang Abu, Bambu
Tali, Bambu Papah, Bambu Suet dan jenis bambu lainnya, tetapi terdapat
beberapa jenis bambu sudah mengalami kepunahan. Hutan Bambu ini
sebagian dimiliki oleh desa adat dan sebagian lagi dimiliki oleh masyarakat.
Suasana
sunyi di tengah hutan, selain akan memberikan suasana tersendiri bagi
wisatawan, juga akan makin mendekatkan wisatawan akan keindahan alam yang ada
di hutan bambu Desa Penglipuran. Usai menikmati keindahan hutan bambu,
wisatawan juga bisa menyaksikan perkebunan penduduk serta aktivitas pembuatan
aneka bentuk anyaman bambu yang dikerjakan oleh warga Penglipuran. Kondisi
ini tentunya akan menambah pengalaman wisatawan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Desa
Penglipuran adalah salah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya.
Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai sudut desa ini.
Sehingga, nuansa Bali masa lalu masih bisa dijumpai. Perbedaan desa adat
Penglipuran dengan desa adat lainnya di Bali adalah tata ruang yang sangat
teratur berupa penataan rumah penduduk di kanan dan kiri jalan dengan bentuk
rumah yang seragam dalam hal bentuk sehingga keseluruhan desa ini tampak rapi
dan teratur.
Desa
Penglipuran masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Kubu, Kabupaten
Bangli. Letaknya di jalan utama Kintamani – Bangli. Kata “Penglipuran” berasal
dari kata “Pengeling Pura” yang artinya,
tempat suci untuk mengenang para leluhur. Jaraknya sekitar 45 km dari Kota
Denpasar. Desa Penglipuran memiliki luas sekitar 112 Ha, terdiri dari
tegalan, hutan bambu, permukiman, dan beragam fasilitas umum seperti pura,
sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Berada di perbukitan dengan ketinggian
berkisar 700 m dpl, menjadikan Penglipuran sebagai kawasan yang cukup sejuk.
Sumber
I Wayan
Supad (Kelihan Adat)
Beberapa
warga masyarakat desa panglipuran.
·
Dari
Networking
http://beautifulbali-bangli.blogspot.com/2012_01_01_archive.html
http://octhawidi.blogspot.com/2012/11/latar-belakang-sejarah-desa-adat.html
http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/desa-tradisional-penglipuran.htm
http://octhawidi.blogspot.com/2012/11/latar-belakang-sejarah-desa-adat.html
|
Komentar
Posting Komentar